Thursday, 2 June 2016

Judul: “Masihkah PENCAK SILAT sebagai sebuah HARMONI?”

Apa yang muncul pertama kali saat masyarakat mendengar dua kata populis ini “PENCAK SILAT”?. Kebanyakan akan langsung men-justice “biang rusuh, arogan, tawuran, anarkisme, ketinggalan zaman (jadul) dll”. Hal ini tidak sepenuhnya salah karena pencak silat adalah memang produk budaya yang telah lama hidup dan berkembang di nusantara yang diwariskan secara turun temurun, tapi pernyataan seperti itu tidak sepenuhnya juga dapat dibenarkan, karena  tidak semua “pendekar” seperti mempunyai attitude demikian. Masyarakat beranggapan seperti itu karena melihat kenyataan di permukaan. Realitas sosial  yang menunjukkan, bahwa tawuran dan biang rusuh, misal dalam acara-acara perayaan adalah para pesilat itu sendiri. Yang lebih miris lagi dengan mengenakan simbol2 dan identitas pencak silat, sebuah simbol yang mestinya dijunjung tinggi dan dijaga nama baiknya.
Awalnya penulis tak mau repot memikirkan hal ini. Tapi akhirnya kepikiran juga, terdorong karena perasaan menjadi bagian dan pengagum seni bela diri pencak silat sebagai produk budaya bangsa yang mesti dijaga dan dilestarikan, sehingga semacam ada keterpanggilan untuk bersama-sama belajar lagi dan merevitaliasasi pemahaman tentang hakikat pencak silat, mengingat kembali falsafah pencak silat sebagai identitas ketimuran, identitas sebuah bangsa yang luhur, yang sangat menjunjung tinggi etika dan estetika.
Jika mau menengok ke belakang, pencak silat merupakan salah satu wujud kebudayaan nasional, pusaka warisan leluhur bangsa yang harus dilestarikan. Pencak silat merupakan “kemanunggalan” seni, olah fisik, serta olah batin yang masing –masing saling berkaitan dan tak dapat dipisah-pisahkan. Pencak silat merupakan tindak lanjut dari seni. Di sini seni tidak lagi hanya dinikmati sebagai seni saja dan berhenti menjadi kulit dan ekspresi keindahan  semata, tetapi telah digunakan, dimanfaatkan bersama unsur-unsur lain menjadi suatu kreasi budaya yang mempunyai daya guna terhadap kehidupan manusia lahir maupun batin. Pergeseran pemahaman dangkal bahwa pencak silat  hanya sebatas pada olah fisik dan menonjolkan kekuatan lahiriah semata bukan tanpa sebab, banyak faktor eksternal yang mempengaruhinya. Salah satu yang menonjol adalah masuknya beladiri “impor” ke Nusantara pada dekade 60-70an. Ditunjang menjamurnya film-film tentang beladiri impor tersebut yang lebih menonjolkan kekuatan fisik semata serta promosi yang gencar dilakukan melalui parade maraton keliling kota dengan atraksi-atraksinya mengaburkan mata masyarakat bahwa pencak silat dan beladiri impor adalah sama, semata-mata adalah hanya menonjolkan kekuatan fisik semata. Sehingga melupakan unsur kerohanian atau batiniah yang pada prinsipnya sangat penting sebagai kendali diri.
Dalam kamus pencak silat, tabu menonjolkan superioritas dan kekuatan (dahulu kala), begitu juga dengan promosi dan parade dengan menunjukkan kedigdayaan. Seperti memecah balok es, mematahkan per andong, batu-bata, dan tubuhnya tidak mempan dengan bacok. Tapi nampaknya sekarang paradigma itu telah tergeser, dan terjadi akulturasi metode. Perguruan-perguruan pencak silat yang terhimpun dalam IPSI telah mengadopsi “cara impor” sebagai media untuk mempertahankan eksistensi. Ini seperti halnya dua sisi mata uang, satu sisi mempunyai dampak positif dengan bertambahnya anggota sehingga upaya untuk melestarikan budaya dan tradisi silat sebagai warisan budaya bangsa lebih mudah, namun disisi lain jika tidak benar-benar kuat pondasi kerohanian yang diberikan saat masa penggemblengan di kawah “candradimuka”, maka akan sangat berbahaya. Ibaratnya beternak harimau untuk dilepaskan kembali ke alam bebas tanpa batas kendali, tanpa peringatan bahwa tangan dan kaki bisa menjadi pedang belati, bisa mencelakakan orang lain maupun diri-sendiri.
Perilaku adalah produk budaya, begitu juga pencak silat. Sebagai produk otentik dan khas suatu kebudayaan, tentu “olah kanuragan” atau beladiri, tumbuh berdasarkan sikap budaya masyarakat yang bersangkutan, unsur gerak, falsafah gerak semuanya didukung faktor budaya, baik yang universal maupun kontekstual. Pencak silat bagaimanapun juga tidak bisa meninggalkan sepenuhnya ciri kepribadian ketimuran yang dimiliki, meski inovasi adalah sebuah keniscayaan. Pesilat hidup di tengah-tengah masyarakat, menjadi bagian integral dari masyarakat. Kehadirannya sudah semestinya “Memayu Hayuning Bawono”, mampu menjadi pengayom masyarakat, menciptakan sebuah harmoni di masyarakat, dan memunculkan rasa aman akan kehardirannya, bukan malah merusak harmoni dan menimbulkan kekacauan di lingkungan.

No comments:

Post a Comment

MEMORY

MEMORY
Kegiatan PSHT RAnting Tugu

Calon warga 2015

Calon warga 2015